Program Cerita Wayang Ramayana Bahasa Jawa
Dalang, Pengrawit, Pesinden, Tukang Becak Hingga Presiden Boleh Baca IniTaka to rupi converter.

Ki Jlitheng Suparman
PEPAK BASA JAWA Istilah-istilah dalam permainan basket Jenis Paragraf (miturut isine) Cerita Kancil lan Baya CERKAK (Cerita Cekak) Cerita wayang Ramayana: Sintha Kandhusta Lembaga Keuangan Bukan Bank Jenise Wara-Wara Belajar jadi Hacker Lirik lagu BEAUTIFUL - Christina Aguilera dan artinya. Cekidot langsung wae simak cerita ramayana bahasa jawa ana ing ngisor iki. Crita Ramayana wiwit karo wong jenenge Rama, putra Prabu Dasarata makutha saka ing Kosala karo ibukutha Ayodhya. Telung stepbrothers disebut Barata, Lakshmana lan Satrukna.
Kumpulan Cerita Wayang Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, Bahasa Sunda, Bahasa Inggris, Lakon Wayang, Mp3 Wayang, Video Wayang, Mahabarata, Ramayana.
(Makalah ini disajikan dalam Sarasehan Dalang Wonogiri di Plaza Gajah Mungkur Ngadirojo, 14 Nopember 2009)
Manusia berkesenian adalah untuk meraih keindahan sebagai wahana memperoleh pencerahan. Dari keindahan itu manusia memperoleh penghayatan tentang kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kebatilan, dan sebagainya yang kesemuanya itu bermuara kepada kedewasaan, kepekaan, dan kecerdasan jiwani atau batiniah. Maka estetika dan etika merupakan dua aspek yang kuat menandai keberadaan salah satu unsur kebudayaan manusia yang disebut kesenian. Estetika adalah ilmu pengetahuan tentang keindahan, etika adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan perihal kebaikan. Kedua aspek itulah di dalam dunia seni pedalangan yang secara sederhana dikatakan sebagai tontonan dan tuntunan.
Namun sebenarnya istilah tontonan dan tuntunan maknanya tidak sama persis dengan estetika dan etika. Tontonan dan tuntunan adalah sebuah konsep pemikiran yang terjemahannya cenderung mendangkalkan makna estetika dan etika. Tontonan lebih bermakna sebagai hiburan, tuntunan lebih bermakna sebagai pedoman. Hiburan lebih berarti sebagai wahana pencapaian kesenangan, yakni kepuasan atas hasrat inderawi, tidak sampai kepada wilayah jiwani. Sedang tuntunan lebih bermakna sebagai pedoman yang bersifat normatif dan statis. Maka istilah tontonan dan tuntunan bila tidak disikapi secara hati-hati justru akan menjebak pelaku seni pada kegiatan kreatif yang hanya bersentuhan dengan hasrat inderawi dan penyampaian pesan nomatif secara vulgar. Perilaku kreatif yang demikian sulit rasanya melahirkan bentuk kesenian atau seni pertunjukan yang mampu memberikan daya rangsang penghayatan yang bersifat jiwani atau pencerahan. Sebab tontonan hanya memberi kepuasan inderawi dan sesaat; tuntunan cenderung menyampaikan nilai-nilai secara verbal dan vulgar atau menggurui.
Kesenian yang mampu memberi pencerahan adalah kesenian yang tidak menggurui. Penikmat atau penonton dibiarkan menafsir dan menangkap pesan makna sesuai dengan latar dan kemampuan masing-masing. Seseorang yang berlatar profesi sebagai guru dengan seorang petani niscaya akan memiliki tafsir yang berbeda atas pesan makna yang disampaikan oleh sebuah seni pertunjukan. Maka jaman dulu pagelaran wayang kulit selalu ditutup dengan golekan ‘sajian wayang golek’, yang konon artinya penonton diminta mencari sendiri makna cerita yang digelar oleh dalang semalam suntuk. Dari fenomena golekan tersebut memberi pemahaman kepada kita bahwa seni pertunjukan wayang kulit di masa lalu memang tidak menggurui, tetapi menyampaikan pesan melalui struktur lakonnya.
Bagaimana dengan perkembangan kondisi pertunjukan wayang kulit dewasa ini? Mampukah ia memberi pencerahan kepada masyarakat penontonnya?
Kesenjangan Komunikasi
Kemampuan seni pertunjukan wayang (baca: wayang kulit purwa) sebagai media pencerahan dewasa ini agaknya memang perlu dipertanyakan. Keraguan itu bukan tanpa alasan. Betapa saat ini telah terjadi kesenjangan komunikasi antara penonton dan pertunjukan wayang. Artinya bahwa penonton tidak mampu menangkap apalagi mencerna cerita yang dibawakan oleh dalang. Kebanyakan penonton, terutama generasi muda sudah tidak paham terhadap kisah yang dibawakan oleh dalang. Ketidak-pahaman tersebut bukan semata-mata karena faktor bahasa, yang mana masyarakat kita terutama generasi muda makin asing dengan bahasanya sendiri, melainkan juga karena kurangnya bekal pengetahuan tentang latar belakang budaya yang membentuk seni pertunjukan wayang. Kita ketahui bahwa seni pertunjukan wayang dibangun oleh kebudayaan keraton dan sedikit kebudayaan masyarakat bawah agraris. Sementara masyarakat kita telah bergeser ke peradaban modern dan pola kehidupan industrialis. Perubahan kebudayaan yang sedemikian pesat itu membuat generasi muda kita terputus dengan informasi dan pengetahuan tentang kebudayaannya sendiri.
Seni pertunjukan wayang yang lahir dan dibesarkan oleh kebudayaan keraton, sudah barang tentu kesenian ini akan banyak bercerita perihal kehidupan keraton. Tokoh-tokoh ceritanya didominasi oleh kaum elit kerajaan (raja, ksatria, brahmana) dan para dewa. Ungkapan-ungkapan dan bahasanya banyak mengacu yang berkembang di keraton. Demikian pula konflik-konflik dan permasalahan yang diangkat lebih banyak berkutat di wilayah konflik dan permasalahan kaum elit keraton. Sedikit sekali atau bahkan nyaris tidak ada kisah yang mengangkat persoalan-persoalan kaum kelas bawah. Dengan kata lain kisah cerita yang disajikan oleh seni pertunjukan wayang adalah potret atau gambaran kehidupan masyarakat kerajaan di masa lalu.
Kini masyarakat kita telah berubah. Bentuk pemerintahan kerajaan bergeser ke bentuk pemerintahan republik. Susunan masyarakat telah berubah, demikian pula cara hidup dan pola berpikir masyarakat sudah berbeda dengan masa lalu. Ketika seni pertunjukan wayang masih bertahan di dunia masa lalu apakah masyarakat sekarang masih bisa mengerti dan menghayati? Kiranya sulit bagi kita untuk memahami apa lagi menghayati sesuatu yang tidak kita mengerti. Dengan demikian jelas bahwa tujuan pencerahan yang diharapkan dari seni pertunjukan wayang nampaknya sulit dicapai.
Revitalisasi Seni Pertunjukan Wayang
Sampai saat ini seni pertunjukan wayang memang masih hidup dan berkembang di masyarakat. Fakta itu bukan berarti menjadi jaminan bahwa seni pertunjukan wayang akan bertahan selamanya. Kecuali bila secepatnya kita dapat mengantisipasi persoalan-persoalan yang dihadapinya, terutama persoalan kesenjangan komunikasi seperti terurai di atas.
Guna menghantar seni pertunjukan wayang agar dapat mengarungi perjalanan sejarah hingga masa depan diperlukan sebuah usaha revitalisasi. Yakni sebuah usaha yang tidak hanya sebatas menjaganya tetap hidup, namun juga bermanfaat bagi kehidupan. Manfaat yang dimaksud bukan sebatas untuk kepentingan sesaat, semisal kepentingan politik dan propaganda pihak tertentu, melainkan manfaat yang lebih besar lagi yakni membawa pencerahan bagi kehidupan umat manusia. Usaha revitalisasi itu langkah konkritnya seperti apa, kiranya kita semua juga belum tahu pasti. Langkah awal yang terpenting adalah adanya kesadaran dan kemauan untuk secara bersama-sama melakukan proses pembenahan dan perubahan menuju target revitalisasi.
Upaya revitalisasi adalah usaha untuk membuat seni pertunjukan wayang agar hidup dan berdaya guna kembali sesuai dengan fungsi keberadaannya sebagai kesenian. Usaha menuju revitalisasi tersebut pertama-tama harus dipahami tentang hakekat pertunjukan wayang sebagai sebuah kesenian, tentang karakteristik dan perilakunya dalam menjaga keberadaannya. Pemahaman itu dapat kita peroleh dari mempelajari perjalanan sejarahnya.
Seni Pewayangan
Seni pewayangan di kalangan masyarakat umum dipahami sebatas seni pertunjukan wayang. Namun sesungguhnya seni pewayangan sebagai media ekspresi memiliki tiga bentuk ekspresi, yakni ekspresi yang berakar pada tradisi lisan, tradisi tulis, dan tradisi rupa. Masing-masing bentuk ekspresi seni pewayangan tersebut masih berkembang hingga saat ini.
Seni pewayangan yang berakar pada tradisi lisan adalah seni pertunjukan wayang seperti yang sering kita tonton hingga saat ini. Di dalam bentuk seni pertunjukan ini pun terdapat beragam bentuk, corak dan gaya, yang dapat disebutkan antara lain: wayang kulit purwa, wayang golek, wayang kulit betawi, wayang kancil, wayang krucil, wayang menak, wayang beber, wayang orang, wayang wahyu, dan lain sebagainya. Masing-masing jenis pertunjukan wayang tersebut menunjukkan perbedaan pada bentuk boneka, bahan yang digunakan untuk boneka, sumber cerita, maupun ciri kedaerahan. Seperti misalnya wayang kulit purwa bentuk bonekanya pipih dua dimensi terbuat dari bahan kulit, sumber cerita mengambil dua epos besar Mahabarata dan Ramayana, berkembang di wilayah Jawa Tengah dan Jawa timur. Kemudian wayang golek Sunda bentuk bonekanya tiga dimensi terbuat dari bahan kayu, sumber cerita dari dua epos besar Mahabarata dan Ramayana, berkembang di wilayah Jawa Barat, dan
sebagainya.
Seni pewayangan yang berakar pada tradisi tulis adalah berbentuk sastra wayang. Di era Jawa Kuno sastra wayang ini sudah berkembang, biasanya berbentuk kakawin (puisi Jawa Kuno), seperti misalnya karya para empu di Jawa: Kakawin Bharatayudda, Kakawin Arjuna Wiwaha, Kakawin Ramayana, dan sebagainya. Di jaman kerajaan pasca era Jawa Kuno, sastra wayang pun tetap berkembang dan melahirkan banyak tulisan karya para pujangga, seperti Serat Kandha, Serat Pustakaraja Purwa, dan lain sebagai yang jumlahnya ratusan. Kemudian setelah Indonesia merdeka sastra wayang juga tetap berkembang, bahkan tidak sebatas monopoli bahasa Jawa, tetapi banyak yang ditulis ke dalam bahasa Indonesia, atau bahkan bahasa Inggris, seperti misalnya novel wayang “Hamba Sebut Paduka Ramadewa” oleh Herman Pratikto, “Anak Bajang Menggiring Angin” oleh Sindhunata, “Wisanggeni Sang Buronan” oleh Seno Gumira Ajidarma, “Pertempuran Dua Ksatria Karna-Arjuna” oleh Pitoyo Amrih, dan lain sebagainya.
Kemudian seni pewayangan yang berakar pada tradisi rupa adalah berbentuk lukisan, relief dan patung-patung wayang. Cerita-cerita wayang banyak memberi inspirasi kepada seniman perupa sehingga terlahir banyak karya lukisan, relief dan patung wayang seperti yang sering kita temui di berbagai tempat.
Seni pertunjukan wayang adalah media ekspresi yang didalamnya terdapat beragam unsur seni yang lengkap, yakni: seni sastra, seni musik, seni suara, seni drama, dan seni rupa. Di samping secara struktur pertunjukannya merangkum berbagai unsur seni, dalam kisah yang di bawakannya banyak mengandung nilai-nilai ajaran moralitas, budi pekerti, maupun filsafat yang kesemuanya menawarkan nilai-nilai keluhuran. Maka tidak heran bila seni pertunjukan wayang kemudian diberi label sebagai kesenian yang adi luhung.
Hakekat Dalang
Seni pedalangan pada dasarnya berakar dari tradisi tutur, yakni tradisi penyampaian pesan secara lisan. Menurut hasil penelitian para sarjana, jauh sebelum seni pedalangan terbentuk, sekian puluh abad yang lalu di Jawa terdapat tukang dongeng yang disebut Saman. Fenomena Saman ini muncul ketika orang Jawa belum mengenal tulisan atau tradisi tulis. Tugas seorang Saman adalah mendongeng tentang roh-roh leluhur sebagai bagian dari kegiatan upacara ritual keagamaan. Untuk menggambarkan secara visual roh-roh leluhur tersebut Saman membuat benda yang ketika disinari api memunculkan bayang-bayang. Dari fenomena permainan bayang-bayang inilah diperkirakan sebagai awal mula muncul istilah “wayang” yang berarti bayang-bayang.
Setelah tradisi tulis muncul dan berkembang, mulailah bermunculan pustaka-pustaka hasil karya para pujangga kerajaan yang memperkaya sumber cerita masyarakat. Dalam perkembangannya, di samping Saman, muncul lagi pendongeng yang mengangkat cerita yang bersumber dari pustaka-pustaka karya para pujangga. Pendongeng tersebut disebut sebagai Wiracarita. Baik Saman maupun Wiracarita, di dalam mendongeng melengkapi diri dengan alat bantu peraga yang kemudian disebut sebagai wayang. Entah mulai kapan, lama kelamaan sebutan Saman dan Wiracarita tersebut hilang, pendongeng yang menggunakan alat bantu peraga berupa wayang berganti sebutan sebagai “Dalang”.
Dari ilustrasi singkat di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa hakekat dalang adalah sebagai pendongeng. Ia menyampaikan kisah dengan dibantu dengan alat peraga wayang dan iringan bunyi-bunyian (gamelan) untuk mendukung kisah yang diceritakannya agar menjadi lebih menarik. Dengan maksud untuk meraih perhatian dan antusiasme audien atau penonton terhadap cerita dalang secara lebih besar. Besarnya perhatian dan antusiasme tersebut merupakan pintu bagi masuknya pesan-pesan nilai yang terkandung dalam cerita.
Bila kita kembalikan pada perkembangan seni pertunjukan wayang pada umumnya di masa sekarang, hakekat dalang sebagai pendongeng memang semakin tidak nampak. Posisi unsur cerita atau lakon sebagai panglima dari struktur pertunjukan wayang menjadi terbalik. Eksplorasi atau penggarapan alat peraga (wayang) maupun iringan (gamelan) lebih mendominasi sehingga melemahkan unsur cerita atau lakon yang seharusnya diperkuat oleh kedua unsur tersebut. Seloroh bahwa dalang sekarang tak lebih sekadar sebagai MC, kiranya dimaksudkan untuk mengkritisi memudarnya hakekat peran dalang sebagai pendongeng, Saman, atau Wiracarita. Dalang dinilai tidak lagi memproyeksikan diri sebagai pendongeng namun sebatas sebagai pemegang kendali pertunjukan. Dalang tidak lagi mengidupkan wayang melainkan menghidupkan pertunjukan. Keberadaan panggungan, yakni ruang layar selebar tangan dalang merentang sebagai pusat pertunjukan, menjadi hilang tertelan oleh panggung (stage) yang mejadi ajang aktivitas dalang, pengrawit dan pesinden. Figur wayang yang rata-rata setinggi 40 sampai dengan 90 centimeter menjadi kabur oleh kemilau logam perunggu, rampaknya kostum pengrawit, dan indahnya tata rias pesindhen. Maka kesentosaan sosok Bima, kelicikan Patih Sengkuni, dan kekonyolan Buta Cakil tidak lagi dikenali penonton, yang membekas dibenak mereka adalah kesohoran nama dalang dan pesinden. Malang bagi pengrawit yang secara individu jarang tersebut namanya…
Istilahnya begitu sederhana: pendongeng! Namun membangun kembali keberadaan dalang sebagai pendongeng bukan hal mudah. Tekanan-tekanan dari luar merupakan salah satu faktor yang mempersulit dalang untuk kembali menjadi pendongeng. Faktor tekanan dari luar beraneka ragam dan sangat kompleks. Pesan sponsor, trend tuntutan massa penonton, intervensi penanggap, adalah kendala-kendala kasat mata yang sulit terantisipasi. Budaya materialisme yang makin menguat adalah kendala yang tidak kasat mata namun benar-benar menghantui keimanan para dalang. Dan masih banyak lagi kendala-kendala eksternal lain yang kiranya tak cukup ruang untuk diuraikan dalam forum yang singkat ini.
Kemudian kendala-kendala dari dalam yang berhubungan dengan aspek estetik juga menjadi masalah yang cukup pelik, yang mempersulit dalang untuk dapat kembali menjadi pendongeng. Aspek-aspek: kebahasaan dan aturan-aturan (konvensi) struktur cerita maupun gending merupakan bentuk-bentuk persoalan internal yang sulit diurai dan mempersulit dalang untuk menjadi pendongeng yang komunikatif.
Oleh sebab kompleksitas kendala tersebut di atas maka tidak adil bila usaha agar seni pertunjukan wayang bisa kembali kepada hakekatnya sebagai sumber pencerahan hanya dibebankan di pundak para dalang dan seniman pendukungnya. Sebaliknya fakta persoalan yang dihadapi oleh seni pertunjukan wayang tersebut hendaknya menyadarkan para dalang untuk mau terbuka dan bekerja sama dengan pihak lain sehingga beban tugas yang begitu berat tersebut bisa dikerjakan secara bersama-sama.
Program Cerita Wayang Ramayana Bahasa Jawa Terbaru
by Josef Essberger
The Winepress'You don't have to be French to enjoy a decent red wine,' Charles Jousselin de Gruse used to tell his foreign guests whenever he entertained them in Paris. 'But you do have to be French to recognize one,' he would add with a laugh.
After a lifetime in the French diplomatic corps, the Count de Gruse lived with his wife in an elegant townhouse on Quai Voltaire. He was a likeable man, cultivated of course, with a well deserved reputation as a generous host and an amusing raconteur.
This evening's guests were all European and all equally convinced that immigration was at the root of Europe's problems. Charles de Gruse said nothing. He had always concealed his contempt for such ideas. And, in any case, he had never much cared for these particular guests.
The first of the red Bordeaux was being served with the veal, and one of the guests turned to de Gruse.
'Come on, Charles, it's simple arithmetic. Nothing to do with race or colour. You must've had bags of experience of this sort of thing. What d'you say?'
'Yes, General. Bags!'
Without another word, de Gruse picked up his glass and introduced his bulbous, winey nose. After a moment he looked up with watery eyes.
'A truly full-bodied Bordeaux,' he said warmly, 'a wine among wines.'
The four guests held their glasses to the light and studied their blood-red contents. They all agreed that it was the best wine they had ever tasted.
One by one the little white lights along the Seine were coming on, and from the first-floor windows you could see the brightly lit bateaux-mouches passing through the arches of the Pont du Carrousel. The party moved on to a dish of game served with a more vigorous claret.
'Can you imagine,' asked de Gruse, as the claret was poured, 'that there are people who actually serve wines they know nothing about?'
'Really?' said one of the guests, a German politician.
'Personally, before I uncork a bottle I like to know what's in it.'
'But how? How can anyone be sure?'
'I like to hunt around the vineyards. Take this place I used to visit in Bordeaux. I got to know the winegrower there personally. That's the way to know what you're drinking.'
'A matter of pedigree, Charles,' said the other politician.
'This fellow,' continued de Gruse as though the Dutchman had not spoken, 'always gave you the story behind his wines. One of them was the most extraordinary story I ever heard. We were tasting, in his winery, and we came to a cask that made him frown. He asked if I agreed with him that red Bordeaux was the best wine in the world. Of course, I agreed. Then he made the strangest statement.
'The wine in this cask,' he said, and there were tears in his eyes, 'is the best vintage in the world. But it started its life far from the country where it was grown.'
De Gruse paused to check that his guests were being served.
'Well?' said the Dutchman.
De Gruse and his wife exchanged glances.
'Do tell them, mon chéri,' she said.
De Gruse leaned forwards, took another sip of wine, and dabbed his lips with the corner of his napkin. This is the story he told them.
At the age of twenty-one, Pierre - that was the name he gave the winegrower - had been sent by his father to spend some time with his uncle in Madagascar. Within two weeks he had fallen for a local girl called Faniry, or 'Desire' in Malagasy. You could not blame him. At seventeen she was ravishing. In the Malagasy sunlight her skin was golden. Her black, waist-length hair, which hung straight beside her cheeks, framed large, fathomless eyes. It was a genuine coup de foudre, for both of them. Within five months they were married. Faniry had no family, but Pierre's parents came out from France for the wedding, even though they did not strictly approve of it, and for three years the young couple lived very happily on the island of Madagascar. Then, one day, a telegram came from France. Pierre's parents and his only brother had been killed in a car crash. Pierre took the next flight home to attend the funeral and manage the vineyard left by his father.
Faniry followed two weeks later. Pierre was grief-stricken, but with Faniry he settled down to running the vineyard. His family, and the lazy, idyllic days under a tropical sun, were gone forever. But he was very happily married, and he was very well-off. Perhaps, he reasoned, life in Bordeaux would not be so bad.
But he was wrong. It soon became obvious that Faniry was jealous. In Madagascar she had no match. In France she was jealous of everyone. Of the maids. Of the secretary. Even of the peasant girls who picked the grapes and giggled at her funny accent. She convinced herself that Pierre made love to each of them in turn.
She started with insinuations, simple, artless ones that Pierre hardly even recognized. Then she tried blunt accusation in the privacy of their bedroom. When he denied that, she resorted to violent, humiliating denouncements in the kitchens, the winery, the plantations. The angel that Pierre had married in Madagascar had become a termagant, blinded by jealousy. Nothing he did or said could help. Often, she would refuse to speak for a week or more, and when at last she spoke it would only be to scream yet more abuse or swear again her intention to leave him. By the third vine-harvest it was obvious to everyone that they loathed each other.
One Friday evening, Pierre was down in the winery, working on a new electric winepress. He was alone. The grape-pickers had left. Suddenly the door opened and Faniry entered, excessively made up. She walked straight up to Pierre, flung her arms around his neck, and pressed herself against him. Even above the fumes from the pressed grapes he could smell that she had been drinking.
'Darling,' she sighed, 'what shall we do?'
He badly wanted her, but all the past insults and humiliating scenes welled up inside him. He pushed her away.
'But, darling, I'm going to have a baby.'
'Don't be absurd. Go to bed! You're drunk. And take that paint off. It makes you look like a tart.'
Faniry's face blackened, and she threw herself at him with new accusations. He had never cared for her. He cared only about sex. He was obsessed with it. And with white women. But the women in France, the white women, they were the tarts, and he was welcome to them. She snatched a knife from the wall and lunged at him with it. She was in tears, but it took all his strength to keep the knife from his throat. Eventually he pushed her off, and she stumbled towards the winepress. Pierre stood, breathing heavily, as the screw of the press caught at her hair and dragged her in. She screamed, struggling to free herself. The screw bit slowly into her shoulder and she screamed again. Then she fainted, though whether from the pain or the fumes he was not sure. He looked away until a sickening sound told him it was over. Then he raised his arm and switched the current off.
The guests shuddered visibly and de Gruse paused in his story.
'Well, I won't go into the details at table,' he said. 'Pierre fed the rest of the body into the press and tidied up. Then he went up to the house, had a bath, ate a meal, and went to bed. The next day, he told everyone Faniry had finally left him and gone back to Madagascar. No-one was surprised.'
He paused again. His guests sat motionless, their eyes turned towards him.
'Of course,' he continued, 'Sixty-five was a bad year for red Bordeaux. Except for Pierre's. That was the extraordinary thing. It won award after award, and nobody could understand why.'
The general's wife cleared her throat.
'But, surely,' she said, 'you didn't taste it?'
'No, I didn't taste it, though Pierre did assure me his wife had lent the wine an incomparable aroma.'
'And you didn't, er, buy any?' asked the general.
'How could I refuse? It isn't every day that one finds such a pedigree.'
There was a long silence. The Dutchman shifted awkwardly in his seat, his glass poised midway between the table and his open lips. The other guests looked around uneasily at each other. They did not understand.
'But look here, Gruse,' said the general at last, 'you don't mean to tell me we're drinking this damned woman now, d'you?'
De Gruse gazed impassively at the Englishman.
'Heaven forbid, General,' he said slowly. 'Everyone knows that the best vintage should always come first.'
Snow on a road - level 1
It is very cold in Minnesota, USA. It snows a lot. A lot of snow falls in the morning. It is the time when people go to work. This is not good.
Many cars have accidents. People cannot control their cars. Police are called to 70 crashes. A road must be closed. People must clear that road. A camera films the situation.
A few cities tell people about snow emergencies.
Difficult words: crash (accident), clear (put the snow away), emergency (situation which is not safe).
English Restart program - level 1
We have a new teaching program for you. The name of the program is English Restart. We want to show you basic rules and techniques for learning English. We believe that the information and techniques from the program will help you learn English faster and more effectively.
If you want to watch the program, you can click here and you will see a short video. If you like it, you can enter your email address and click WATCH MY VIDEOS. Then you can see 4 videos which are for free. If you like them, you can buy the whole program.
We will be happy if we get feedback from you on English Restart. We try to do everything as well as we can. However, we believe that we can always be better and help you more. With your constructive feedback, we can be better.
We prepared and tested this program for many months. Students who took the program liked it. I hope that you will like English Restart too.
Have a nice day,
SMALL SCREEN START BUTTON
The game will launch in this window with site navigation available and some playing instructions. This screen will let the game load and play quicker than the full screen version. Some games may load slowly because of the amount of sound in the games.
BIG SCREEN START BUTTON
The game will launch in a new 'full screen' window that has no site navigation or instruction. For users of Internet Explorer 4 (or higher) the window will automatically fill the whole screen. This mode may be less confusing for children who could otherwise accidentally leave the game by clicking on a link to another part of the website or on another window on the computer. There is a 'close' button in the top right hand corner - alternatively, press Ctrl and W simultaneously to return to this page.